Tag: dunia

Gabriel Omar Batistuta: “The Lion King” dari Fiorentina yang Menghancurkan Serie A

Gabriel Omar Batistuta, dikenal dengan julukan “The Lion King” dan “Batigol,” adalah salah satu striker legendaris dalam sejarah sepakbola, terutama pada era keemasan Serie A di tahun 90-an. Ia terkenal dengan gaya bermainnya yang penuh tenaga, tembakan keras, dan kemampuan mencetak gol dari berbagai sudut. Dengan rambut gondrong khasnya dan gaya selebrasi yang ikonik, Batistuta menjadi idola banyak penggemar sepakbola.

Awal Karir Batistuta: Dari Klub Kecil ke Newell’s Old Boys

Lahir di Avellaneda, Argentina, pada 1 Februari 1969, Gabriel Batistuta bukanlah seorang anak yang sejak kecil mencintai sepakbola. Justru, dia lebih tertarik pada basket dan pelajaran sains. Namun, kemenangan Argentina di Piala Dunia 1978 mengubah pandangannya, dan ia mulai serius menekuni sepak bola. Batistuta memulai karirnya di klub kecil sebelum akhirnya bergabung dengan tim junior Platense.

Prestasinya bersama Platense menarik perhatian Marcelo Bielsa, pelatih tim junior Newell’s Old Boys, yang kemudian memberinya kontrak profesional pertama pada tahun 1988. Bielsa, yang dikenal keras dan penuh disiplin, menjadi mentor utama bagi Batistuta. Di bawah asuhannya, Batistuta berubah menjadi pemain yang gigih dan kompetitif, siap memberikan yang terbaik di lapangan.

Kepindahan ke Boca Juniors dan Debut di Tim Nasional

Setelah tampil cemerlang bersama Newell’s Old Boys, Batistuta pindah ke River Plate, dan kemudian ke Boca Juniors. Di Boca, ia semakin menunjukkan ketajamannya sebagai penyerang dengan mencetak 19 gol dalam 42 penampilan dan membantu klub memenangkan Torneo Clausura pada tahun 1991. Performanya yang gemilang membuatnya dipanggil untuk memperkuat tim nasional Argentina di Copa America 1991, di mana ia mencetak enam gol dalam enam pertandingan dan membawa Argentina meraih gelar juara.

Karir Bersama Fiorentina: Kesetiaan dan Gol-Gol Indah

Batistuta kemudian pindah ke Italia dan bergabung dengan Fiorentina pada tahun 1991. Di musim pertamanya di Serie A, ia mencetak 13 gol, sebuah pencapaian luar biasa mengingat ketatnya persaingan di liga tersebut pada masa itu. Meskipun Fiorentina sempat terdegradasi ke Serie B, Batistuta memilih untuk tetap tinggal dan membantu klub kembali ke Serie A. Kesetiaannya kepada Fiorentina dan fansnya membuatnya semakin dicintai.

Selama satu dekade di Fiorentina, Batistuta mencetak 207 gol dalam 333 pertandingan dan membantu klub meraih Coppa Italia pada tahun 1996 dan Piala Super Italia. Ia menolak tawaran dari klub-klub besar seperti Real Madrid, Bayern Munich, dan Manchester United, menegaskan bahwa ia lebih memilih memenangkan satu gelar bersama Fiorentina daripada sepuluh gelar dengan klub besar.

Mencapai Puncak Bersama AS Roma

Pada tahun 2000, Batistuta akhirnya pindah ke AS Roma. Kepindahannya ini membawa hasil positif, karena ia langsung membantu Roma memenangkan Scudetto di musim pertamanya dengan mencetak 20 gol dalam 28 pertandingan. Gelar ini merupakan pencapaian puncak dalam karir klubnya, meski sayangnya ia tidak bisa mengulang kesuksesan itu karena cedera yang sering mengganggunya di musim-musim berikutnya.

Akhir Karir dan Warisan Batistuta

Setelah meninggalkan AS Roma, Batistuta sempat bermain di Inter Milan dengan status pinjaman, namun cedera terus menghantui. Ia kemudian mengakhiri karirnya di klub Al-Arabi di Qatar, di mana ia memenangkan Sepatu Emas Asia dengan mencetak 25 gol dalam 18 penampilan sebelum pensiun pada tahun 2005.

Setelah pensiun, Batistuta harus menghadapi rasa sakit yang parah akibat cedera kronis di kakinya, yang bahkan membuatnya mempertimbangkan untuk mengamputasi kakinya. Namun, ia tetap dikenang sebagai salah satu penyerang terbaik sepanjang masa, yang tidak hanya mengorbankan tubuhnya untuk sepak bola, tetapi juga meninggalkan jejak cinta yang mendalam dalam sejarah olahraga ini.

Kesimpulan

Gabriel Omar Batistuta adalah lebih dari sekadar striker hebat; dia adalah ikon sepak bola yang menyatukan kesetiaan, determinasi, dan kemampuan mencetak gol yang tak tertandingi. Dengan karir yang penuh dengan prestasi, baik di level klub maupun internasional, Batistuta akan selalu dikenang sebagai “Batigol,” seorang legenda sepak bola yang telah menginspirasi banyak generasi pemain dan penggemar.

“Kisah Adriano Leite Ribeiro: ‘The Emperor’ yang Terpuruk di Tengah Kejayaan Sepak Bola”

Adriano Leite Ribeiro, yang dikenal sebagai “The Emperor,” adalah salah satu pemain sepak bola yang pernah mencapai puncak kejayaan di dunia sepak bola, namun kemudian karirnya mengalami penurunan yang dramatis. Adriano dikenal karena kombinasi kekuatan, kecepatan, dan kemampuan teknis yang luar biasa, menjadikannya salah satu striker paling menakutkan di masanya. Dengan julukan “El Imperatore” atau “Sang Kaisar,” ia diprediksi akan menjadi penerus Ronaldo Nazário (Ronaldo Fenômeno), legenda Brasil lainnya.

Awal Karier dan Bakat Luar Biasa

Adriano lahir pada tanggal 17 Februari 1982 di Vila Cruzeiro, sebuah favela di Rio de Janeiro, Brasil. Meski tumbuh dalam lingkungan yang keras dengan kemiskinan dan kejahatan, Adriano menemukan kegembiraan melalui sepak bola. Sejak kecil, bakatnya sudah terlihat menonjol. Orang tuanya mendaftarkannya ke Akademi Flamengo, meskipun jaraknya cukup jauh dan memerlukan perjalanan yang panjang setiap hari, ditemani oleh neneknya yang setia.

Bakatnya sebagai penyerang mulai muncul setelah ia ditempatkan di posisi tersebut, menggantikan peran sebelumnya sebagai bek kiri. Di usia 17 tahun, Adriano sudah mendapatkan kontrak profesional bersama Flamengo dan langsung menunjukkan kemampuannya sebagai talenta muda yang menjanjikan.

Debut di Inter Milan dan Momen Magis

Setelah debut sukses bersama Flamengo, Adriano bergabung dengan Inter Milan di usia 19 tahun dengan nilai transfer lebih dari 13 juta Euro. Debutnya yang mengesankan untuk Inter terjadi saat pertandingan persahabatan melawan Real Madrid, di mana ia mencetak gol dari tendangan bebas yang sangat kuat, yang kemudian menjadi salah satu momen paling ikonik dalam karirnya.

Namun, untuk mendapatkan lebih banyak waktu bermain, Adriano sempat dipinjamkan ke Fiorentina dan kemudian dijual ke Parma. Di Parma, ia berkembang pesat dan mulai menarik perhatian klub-klub besar. Kolaborasinya dengan Adrian Mutu di lini depan Parma menjadikannya salah satu duet penyerang paling mematikan di Serie A pada saat itu.

Puncak Kejayaan dan Tragedi Pribadi

Pada tahun 2004, Inter Milan memutuskan untuk memulangkan Adriano. Keputusan itu terbukti tepat, karena Adriano tampil gemilang dan menjadi salah satu pemain yang paling diandalkan di lini serang. Pada Copa America 2004, Adriano menjadi topskor dan membantu Brasil meraih gelar juara, semakin memperkuat reputasinya sebagai salah satu penyerang terbaik dunia.

Namun, pada saat yang hampir bersamaan, Adriano mengalami tragedi besar dalam hidupnya. Ayahnya meninggal dunia secara mendadak akibat serangan jantung, yang membuat Adriano jatuh ke dalam depresi. Menurut rekan setimnya, Javier Zanetti, sejak saat itu, Adriano tidak pernah sama lagi. Ia mulai sering minum-minum, terlambat latihan, dan tampil di bawah performa terbaiknya. Meskipun masih sempat mencetak gol dan mendapatkan penghargaan, perlahan-lahan kebiasaan buruk dan masalah mental mulai mempengaruhi karirnya secara signifikan.

Penurunan Karir dan Kembali ke Brasil

Setelah periode sulit di Inter Milan, Adriano dipinjamkan ke São Paulo FC di Brasil dengan harapan dia bisa menemukan kembali semangatnya. Meski awalnya tampil cukup baik, ia kembali menunjukkan tanda-tanda ketidakdisiplinan. Setelah kembali ke Inter, hubungan Adriano dengan pelatih Jose Mourinho yang tidak harmonis membuatnya semakin tidak betah.

Pada akhirnya, Adriano memilih kembali ke Flamengo secara permanen. Di Brasil, ia sempat kembali menunjukkan performa yang menjanjikan dan membantu Flamengo meraih gelar, tetapi karirnya tidak pernah benar-benar kembali seperti dulu. Adriano kemudian bermain untuk beberapa klub lain, termasuk Roma dan Corinthians, tetapi masalah kebugaran, cedera, dan isu-isu pribadi terus menghalanginya.

Pelajaran dari Karir Adriano

Kisah Adriano adalah kisah tentang potensi luar biasa yang terhenti oleh tragedi pribadi dan keputusan yang salah. Meski begitu, Adriano tetap menjadi salah satu talenta terbesar yang pernah dimiliki sepak bola Brasil, dan banyak yang mengenangnya sebagai pemain dengan kemampuan yang hampir tidak tertandingi. Kejayaannya yang singkat namun brilian dan kejatuhannya yang dramatis memberikan pelajaran penting tentang bagaimana tekanan mental dan emosional dapat mempengaruhi karir seorang atlet.

“Perjalanan Inspiratif Sadio Mané: Dari Desa Kecil di Senegal ke Panggung Sepak Bola Dunia”

Sadio Mané adalah salah satu pemain sepak bola paling berpengaruh dan inspiratif di dunia saat ini. Kisah hidupnya adalah contoh nyata dari perjuangan, kegigihan, dan keberhasilan yang mampu menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Lahir di sebuah desa kecil bernama Bambali di Senegal pada 10 April 1992, Mané tumbuh di tengah kemiskinan. Keluarganya sering kali dihadapkan pada pilihan sulit antara makan dan pendidikan. Meski demikian, Mané selalu memiliki mimpi besar yang jauh melampaui batasan kondisi hidupnya: menjadi seorang pesepakbola profesional dan mengangkat kehidupan desanya keluar dari kemiskinan.

Masa Kecil yang Penuh Tantangan

Mané tumbuh besar di Bambali, sebuah desa kecil yang terletak jauh dari pusat kota. Sejak kecil, ia telah menunjukkan minat yang luar biasa terhadap sepak bola, meski sering kali harus bermain tanpa perlengkapan yang memadai. Tidak jarang, Mané bermain sepak bola dengan menggunakan bola jeruk bali dan sepatu yang sudah usang dan robek. Tekadnya untuk menjadi pemain sepak bola profesional sering kali dianggap mustahil oleh banyak orang di desanya.

Bagi Mané muda, sepak bola bukan sekadar permainan; itu adalah jalan keluar dari kemiskinan dan cara untuk mengubah nasib keluarganya. Pada suatu hari, dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan pergi ke Dakar, ibu kota Senegal, untuk mengejar mimpinya. Dengan hanya membawa sepatu tua dan pakaian yang seadanya, Mané melarikan diri dari rumah. Setelah beberapa bulan hidup dalam ketidakpastian dan kerasnya kehidupan di ibu kota, keluarganya akhirnya memutuskan untuk mendukung mimpinya untuk menjadi seorang pesepakbola.

Awal Karir di Dakar dan Perjalanan ke Eropa

Di Dakar, Mané bergabung dengan salah satu akademi sepak bola terbaik di negara itu, Génération Foot. Di akademi inilah, bakat Mané yang luar biasa mulai terlihat dan berkembang pesat. Ketekunan dan kerja kerasnya membuatnya diperhatikan oleh pemandu bakat dari FC Metz, sebuah klub Ligue 2 di Prancis. Saat berusia 19 tahun, Mané mendapatkan kesempatan besar pertamanya untuk pergi ke Eropa.

Namun, perjalanan Mané di Eropa tidak dimulai dengan mulus. Setibanya di Prancis, ia mengalami cedera pangkal paha yang cukup parah. Tubuhnya yang kurus dan kondisi fisiknya yang lemah membuat banyak orang meragukan kemampuannya untuk berkompetisi di Eropa. Namun, Mané tidak pernah menyerah. Setelah menjalani operasi, ia kembali lebih kuat dan lebih tangguh. Di FC Metz, Mané menunjukkan potensinya sebagai pemain muda berbakat dengan kecepatan dan kemampuan dribbling yang luar biasa.

Kepindahan ke Red Bull Salzburg dan Keberhasilan di Southampton

Setelah menampilkan performa yang mengesankan di FC Metz, Mané menarik minat klub-klub besar lainnya di Eropa. Pada tahun 2012, ia pindah ke Red Bull Salzburg di Austria dengan nilai transfer yang cukup besar pada saat itu. Di Salzburg, Mané mulai menunjukkan potensi penuhnya sebagai pemain kelas dunia. Ia mencetak banyak gol dan sering kali menjadi pahlawan kemenangan tim. Permainannya yang cemerlang di Austria menarik perhatian klub-klub dari liga top Eropa, termasuk dari Liga Premier Inggris.

Pada tahun 2014, Sadio Mané bergabung dengan Southampton. Di klub ini, ia mulai mencuri perhatian dunia dengan kecepatan, ketajaman, dan kemampuannya mencetak gol. Salah satu momen paling bersejarah dalam karirnya di Southampton adalah ketika ia memecahkan rekor hattrick tercepat dalam sejarah Liga Inggris, mencetak tiga gol hanya dalam 2 menit 56 detik melawan Aston Villa. Keberhasilan ini membuat Mané semakin dikenal dan diminati oleh klub-klub besar di Inggris.

Kesuksesan Besar Bersama Liverpool

Keberhasilan Mané di Southampton membuka jalan baginya untuk pindah ke Liverpool di bawah asuhan Jürgen Klopp pada tahun 2016. Di Liverpool, Mané berkembang menjadi salah satu pemain sayap terbaik di dunia. Bersama rekan-rekannya seperti Mohamed Salah dan Roberto Firmino, Mané membentuk trio penyerang yang mematikan di Liga Inggris dan Eropa. Kecepatan, ketangguhan, dan insting mencetak golnya menjadikannya pilar penting dalam kesuksesan Liverpool di berbagai kompetisi.

Selama bermain di Liverpool, Mané memenangkan berbagai trofi bergengsi termasuk Liga Champions UEFA pada tahun 2019, Liga Premier Inggris pada tahun 2020, Piala Dunia Antarklub FIFA, dan Piala Super UEFA. Pengaruhnya di lapangan begitu besar sehingga ia menjadi salah satu pemain paling dihormati dan dicintai oleh fans Liverpool. Pada tahun 2022, setelah periode yang gemilang di Liverpool, Mané memutuskan untuk melanjutkan karirnya di Bayern Munich di Bundesliga, di mana ia terus mengejar impian dan prestasi.

Sisi Dermawan Sadio Mané

Di luar lapangan, Sadio Mané dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati dan dermawan. Dia tidak pernah melupakan akarnya dan selalu berusaha memberikan kembali kepada komunitas yang membesarkannya. Mané menggunakan kekayaannya untuk membangun infrastruktur penting di desanya, Bambali. Ia mendirikan sekolah, rumah sakit, dan menyediakan akses air bersih bagi penduduk desa. Mané juga sering memberikan bantuan finansial bagi mereka yang membutuhkan di Senegal, menunjukkan kepedulian sosial yang luar biasa.

Dalam sebuah wawancara, Mané pernah berkata, “Saya tidak perlu memamerkan mobil mewah, rumah besar, perjalanan mewah, atau bahkan pesawat. Saya lebih suka membantu orang-orang dengan apa yang saya dapatkan dari sepak bola.” Kata-kata ini mencerminkan kerendahan hati dan komitmennya untuk mengubah hidup orang lain melalui kesuksesannya.

Inspirasi bagi Banyak Orang

Kisah hidup Sadio Mané adalah bukti bahwa mimpi besar dapat mengalahkan kemustahilan. Dengan kerja keras, kegigihan, dan tekad yang kuat, ia berhasil mengubah hidupnya dari seorang anak desa yang hidup dalam kemiskinan menjadi salah satu bintang sepak bola terbesar di dunia. Bagi banyak orang, Mané bukan hanya seorang pesepakbola; dia adalah simbol harapan dan inspirasi bahwa tidak ada mimpi yang terlalu besar jika kita memiliki keberanian untuk mengejarnya.

Alessandro Nesta: Seni Pertahanan Sepak Bola Kelas Tinggi

Klub-klub besar Eropa selalu menginginkan pemain seperti Alessandro Nesta. Dia adalah contoh sempurna dari seorang bek yang memiliki semua kualitas untuk menjadi yang terbaik. Nesta telah memenangkan segala gelar bergengsi dengan cara yang berkelas. Ia adalah tipikal pemain bertahan yang menjadikan lini pertahanan sebagai seni dan sering dijuluki sebagai “The Art of High-Class Defending.”

Yang membuat Nesta berbeda bukan hanya kemampuannya dalam menjaga lini pertahanan, tetapi juga keterampilannya dalam membaca permainan lawan serta cara menghentikan mereka dengan cara yang elegan. Pemain luar biasa ini terkenal dengan ketenangan, disiplin, dan tekel bersih yang sering membuat para striker kehabisan akal. Bahkan, Lionel Messi pernah tertawa setelah mendapatkan tekel dari Nesta.

Gaya bermain Nesta yang tenang dan dingin dapat berubah drastis menjadi sangat agresif ketika bola mendekati wilayah pertahanannya. Inilah mengapa banyak orang mengagumi cara bertahannya, dan mengapa nama Nesta selalu dikaitkan dengan seni bertahan dalam sepak bola.

Selama berpuluh-puluh tahun hingga awal 2000-an, penggemar sepak bola pasti mengenang bagaimana “The Beauty of Serie A,” saat liga Italia menjadi kiblat sepak bola dunia dengan gaya bertahannya yang terkenal. Italia memiliki banyak pemain bertahan legendaris, dari Giovanni Trapattoni dan Cesare Maldini di dekade 1950-an, hingga Tarcisio Burnich, Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Nesta, hingga Fabio Cannavaro.

Italia memang dikenal dengan sepak bola “Catenaccio” atau pertahanan yang kuat dan solid. Konsep pertahanan ini telah mengalir dalam setiap darah pemain belakang mereka. Seperti yang pernah dikatakan Paolo Maldini, “Sepak bola Italia tidak hanya tentang hasil, namun juga tentang permainan indah, khususnya dalam hal bertahan.”

Sebagai bek, biasanya digambarkan sebagai pemain yang mengandalkan kekuatan fisik dan tidak segan menjatuhkan lawan, Alessandro Nesta membuktikan sebaliknya. Ia menjatuhkan lawan-lawannya dengan caranya sendiri yang elegan dan penuh teknik.

Nesta memulai kariernya di dua klub besar Italia: Lazio dan AC Milan. Sejak usia muda, Nesta telah mencoba berbagai posisi, dari gelandang hingga penyerang. Dia mahir membawa bola dan memiliki kecepatan yang cukup baik. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa posisi terbaiknya adalah sebagai bek tengah.

Nesta kecil memulai karier bersama Lazio. Berbeda dengan Francesco Totti yang sejak kecil sudah diinginkan AS Roma, Nesta juga sempat diminati klub tersebut. Namun, ayahnya yang merupakan pendukung garis keras Lazio, selalu menentang hal itu. Debut Nesta bersama Lazio terjadi di bawah asuhan Dino Zoff pada tahun 1994. Namun, butuh waktu satu setengah musim baginya untuk benar-benar menunjukkan kelasnya. Ia kemudian berkembang di bawah asuhan Zdeněk Zeman, yang menanamkan pemahaman taktis yang sangat cocok bagi Nesta.

“Saya tidak ingin melupakan siapa saja yang telah berjasa mengembangkan kemampuan saya. Zeman memainkan peran fundamental dalam pembentukan karier saya. Dia selalu percaya pada kemampuan saya. Dia seorang jenius yang sering disalahpahami oleh sebagian orang,” ungkap Nesta suatu kali.

Pada tahun 1997, saat usianya baru 21 tahun, di bawah manajemen Sven-Göran Eriksson, kemampuan Nesta semakin terasa. Ia diberi ban kapten dan memimpin timnya meraih kemenangan di Coppa Italia 1998, saat Lazio mengalahkan AC Milan di final, dan Nesta mencetak gol kemenangan bagi Lazio.

Dengan semua prestasi dan gaya bermainnya yang luar biasa, Alessandro Nesta telah meninggalkan jejak yang indah dalam sejarah seni bertahan sepak bola.

Alessandro Nesta, yang dikenal sebagai salah satu bek terbaik Italia, memiliki karier gemilang baik di Lazio maupun AC Milan. Dikenal dengan kekuatan fisik dan kecerdasan dalam bertahan, Nesta menjadi impian para pelatih karena kemampuannya memberikan rasa aman bagi penjaga gawang. Sandro, sapaan akrab Nesta, juga menjadi bagian penting dari tim Italia yang memenangkan Kejuaraan Eropa U-21 pada tahun 1996. Ia mencatat debut seniornya untuk Italia dalam kualifikasi Piala Dunia melawan Moldova pada Oktober 1996.

Pada Piala Dunia 1998, Nesta bermain di seluruh pertandingan grup untuk Italia, tetapi cedera memaksanya absen di sisa turnamen. Cedera kembali menghantui Nesta pada Piala Dunia 2002, membuatnya melewatkan sebagian besar musim berikutnya. Meski demikian, Nesta hampir saja memimpin Lazio meraih Scudetto kedua mereka, meski kalah hanya selisih satu poin dari AC Milan.

Namun, musim tersebut tidak sepenuhnya tanpa trofi untuk Lazio. Nesta berhasil membawa klub tersebut memenangkan Piala Winners UEFA dengan mengalahkan Mallorca, serta meraih Piala Super UEFA dengan mengalahkan Manchester United 1-0 pada musim 1999-2000.

Pada tahun 2000, Lazio mengukir sejarah dengan meraih gelar Serie A, berkat kontribusi Nesta dan bintang-bintang lainnya seperti Pavel Nedved, Juan Sebastian Veron, Diego Simeone, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic, dan Marcelo Salas. Namun, kebersamaan Nesta dengan Lazio harus berakhir ketika klub mengalami krisis keuangan. Presiden klub saat itu, Sergio Cragnotti, terpaksa menjual para pemain bintang, termasuk Nesta, untuk menyelamatkan kondisi keuangan klub.

Nesta, yang saat itu menjabat sebagai kapten dan anggota dewan direksi Lazio, sangat terpukul oleh situasi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ia awalnya tidak ingin meninggalkan Lazio dan bahkan menolak tawaran dari Real Madrid dua tahun sebelumnya. Namun, situasi finansial yang buruk membuatnya harus bergabung dengan AC Milan pada 31 Agustus 2002 dengan nilai transfer mencapai 30 juta euro.

Bergabung dengan AC Milan terbukti menjadi keputusan yang tepat. Bersama Rossoneri, Nesta menjadi bagian dari lini pertahanan yang tangguh bersama pemain-pemain legendaris seperti Paolo Maldini, Cafu, Alessandro Costacurta, dan Jaap Stam. Pada musim pertamanya bersama Milan, Nesta langsung memenangkan Liga Champions setelah mengalahkan Juventus dalam adu penalti di final. Ia juga membantu Milan meraih Coppa Italia setelah mengalahkan Roma di final.

Kesuksesan Nesta di Milan berlanjut dengan berbagai penghargaan, termasuk dinobatkan sebagai Bek Terbaik Serie A dan masuk dalam Tim Terbaik UEFA pada tahun 2002. Meskipun beberapa penggemar Lazio menganggapnya sebagai “pengkhianat,” tidak dapat disangkal bahwa keputusan untuk menjual Nesta membantu menyelamatkan kondisi keuangan Lazio dan mengukuhkan statusnya sebagai salah satu bek terbaik yang pernah dimiliki sepak bola Italia dan dunia.

Karier Alessandro Nesta terus menunjukkan kesuksesan pada musim 2003-2004 saat dirinya bersama AC Milan memenangkan Piala Super Eropa dengan mengalahkan Porto. Sang bek andal ini juga berhasil merebut scudetto keduanya, di mana Milan mencetak rekor poin di Liga Italia. Nesta pun terpilih menjadi bagian dari tim terbaik UEFA untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

Musim 2004-2005 dimulai dengan cara yang serupa, saat Milan memenangkan Piala Super Italia dengan mengalahkan mantan tim Nesta, Lazio. Untuk pertama kalinya dalam kariernya, Nesta juga terpilih ke dalam FIFA FIFPro World XI.

Namun, tahun 2006 bukanlah tahun yang istimewa bagi Milan karena klub terlibat dalam skandal pengaturan pertandingan Calciopoli dan gagal meraih trofi di musim 2005-2006. Nesta juga harus menelan pil pahit saat Milan kalah dramatis meskipun unggul 3-0 di babak pertama pada final Liga Champions melawan Liverpool. Meskipun demikian, tahun tersebut tetap menjadi tahun yang istimewa baginya bersama Tim Nasional Italia yang memenangkan Piala Dunia 2006. Sayangnya, Nesta mengalami cedera di pertandingan terakhir fase grup dan harus absen hingga akhir turnamen.

Pada musim 2006-2007, Milan berhasil memenangkan Liga Champions, dan dengan demikian membalaskan dendam mereka terhadap Liverpool. Musim 2008-2009 dilewati Nesta dengan fokus pada pemulihan cedera, sehingga ia nyaris absen sepanjang musim tersebut. Namun, ia berhasil comeback di pertandingan terakhir melawan Fiorentina, meskipun hanya sebagai pemain pengganti.

Meski ada spekulasi mengenai pensiunnya pada musim 2010-2011, Nesta membuktikan bahwa dirinya masih bisa tampil luar biasa. Salah satu momen paling berkesan adalah saat ia menghadapi Lionel Messi dalam pertandingan melawan Barcelona di Camp Nou. Meskipun Barcelona menang, Nesta yang sudah berusia 35 tahun saat itu berhasil berkali-kali menggagalkan aksi Messi, membuat sang bintang Argentina frustasi.

Cedera memang mulai membatasi permainannya, tetapi kemampuan naluriah dan pemahaman taktiknya membuat Nesta tetap tampil seperti anggur berkualitas yang menua dengan indah. Musim 2010-2011 ditutup dengan meraih Scudetto ke-18 bagi Milan, trofi pertama setelah tujuh musim puasa gelar, yang juga menjadi trofi terakhir Nesta bersama Milan.

Pada tahun 2012, Nesta memutuskan untuk meninggalkan Milan setelah 10 tahun kebersamaan. Ia ingin mencari tantangan baru di tempat lain. “Sudah 10 tahun yang indah bersama Milan. Saya pergi karena level di Serie A, Liga Champions, dan Coppa Italia terlalu tinggi untuk saya sekarang,” ujarnya pada konferensi pers perpisahannya.

Nesta kemudian pindah ke Montreal Impact di MLS dan merasakan sepak bola di luar Serie A untuk pertama kalinya. Ia membantu tim tersebut mencapai babak play-off MLS untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Setelah dua musim bersama Montreal, Nesta mengumumkan pengunduran dirinya pada tahun 2013.

Namun, sebelum benar-benar pensiun, Nesta sempat bergabung dengan Chennaiyin FC, klub yang diasuh oleh mantan rekannya di Timnas Italia, Marco Materazzi. Akhirnya, pada tahun 2014, ia pensiun secara resmi dari dunia sepak bola.

Selama 22 tahun kariernya, Nesta tampil dalam 724 pertandingan di semua kompetisi, memenangkan hampir semua trofi bergengsi, mulai dari level junior, klub, Eropa, hingga timnas. Ia mengoleksi total 18 trofi dan 14 penghargaan individu utama. Alessandro Nesta dikenal sebagai bek yang berbakat dan berkelas, seorang legenda terakhir yang dianggap sebagai bek tengah sempurna.

Nesta hampir tidak memiliki kelemahan dalam permainannya. Ia fantastis dalam hal posisi dan taktik, serta memiliki kemampuan membaca permainan yang memungkinkannya untuk mengantisipasi dan menutup ruang dalam situasi satu lawan satu. Kemampuan bertahannya memungkinkan dia terus bermain di level tertinggi secara konsisten, bahkan ketika ia mulai kehilangan kecepatan dan stamina di akhir kariernya.

Setelah pensiun sebagai pemain, pada September 2015, Nesta memulai karier barunya sebagai pelatih di Miami FC, Florida. Ia mengungkapkan bahwa saat menandatangani kontrak kepelatihan di Amerika Serikat, tujuan utamanya adalah untuk belajar lebih banyak tentang sepak bola di negara tersebut. “Sepak bola berkembang sangat cepat di sini, tetapi para pemain harus memulainya lebih dini. Sudah terlambat jika mereka baru mulai saat usia 13 atau 14 tahun; mereka harus mulai lebih awal dan membangun teknik mereka,” ungkapnya.

Di Miami FC, Nesta dan rekan legendarisnya, Paolo Maldini, menyuntikkan banyak budaya Italia ke dalam klub. Nesta mengakui bahwa ia terinspirasi oleh Zdeněk Zeman, seorang pelatih yang dikenal revolusioner dan sangat taktikal. Meskipun begitu, ia menyadari bahwa kecemerlangannya sebagai pemain tidak serta-merta membuatnya menjadi pelatih hebat. “Ketika Anda berganti pekerjaan seperti yang saya lakukan sekarang, Anda harus melupakan masa lalu. Jika terus membandingkan apa yang Anda lakukan di masa lalu dengan apa yang Anda lakukan sekarang, itu akan membuat masalah bagi diri Anda sendiri,” kata Nesta.

Pada Mei 2018, Nesta kembali ke Italia untuk melatih Perugia, lalu berlanjut ke Frosinone. Setelah hampir dua musim memimpin tim Serie B tersebut, ia dipecat pada Maret 2021. Saat tidak memiliki pekerjaan, Nesta sempat mengatakan, “Tanpa kompetisi, saya tidak hidup; otak saya mati,” yang menunjukkan betapa sepak bola adalah hidupnya.

Karier Alessandro Nesta, baik sebagai pemain maupun pelatih, selalu menarik perhatian. Kita nantikan kabar selanjutnya dari salah satu pemain yang layak dijuluki “The Perfect Defender.”