Headlines

Alessandro Nesta: Seni Pertahanan Sepak Bola Kelas Tinggi

Klub-klub besar Eropa selalu menginginkan pemain seperti Alessandro Nesta. Dia adalah contoh sempurna dari seorang bek yang memiliki semua kualitas untuk menjadi yang terbaik. Nesta telah memenangkan segala gelar bergengsi dengan cara yang berkelas. Ia adalah tipikal pemain bertahan yang menjadikan lini pertahanan sebagai seni dan sering dijuluki sebagai “The Art of High-Class Defending.”

Yang membuat Nesta berbeda bukan hanya kemampuannya dalam menjaga lini pertahanan, tetapi juga keterampilannya dalam membaca permainan lawan serta cara menghentikan mereka dengan cara yang elegan. Pemain luar biasa ini terkenal dengan ketenangan, disiplin, dan tekel bersih yang sering membuat para striker kehabisan akal. Bahkan, Lionel Messi pernah tertawa setelah mendapatkan tekel dari Nesta.

Gaya bermain Nesta yang tenang dan dingin dapat berubah drastis menjadi sangat agresif ketika bola mendekati wilayah pertahanannya. Inilah mengapa banyak orang mengagumi cara bertahannya, dan mengapa nama Nesta selalu dikaitkan dengan seni bertahan dalam sepak bola.

Selama berpuluh-puluh tahun hingga awal 2000-an, penggemar sepak bola pasti mengenang bagaimana “The Beauty of Serie A,” saat liga Italia menjadi kiblat sepak bola dunia dengan gaya bertahannya yang terkenal. Italia memiliki banyak pemain bertahan legendaris, dari Giovanni Trapattoni dan Cesare Maldini di dekade 1950-an, hingga Tarcisio Burnich, Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Nesta, hingga Fabio Cannavaro.

Italia memang dikenal dengan sepak bola “Catenaccio” atau pertahanan yang kuat dan solid. Konsep pertahanan ini telah mengalir dalam setiap darah pemain belakang mereka. Seperti yang pernah dikatakan Paolo Maldini, “Sepak bola Italia tidak hanya tentang hasil, namun juga tentang permainan indah, khususnya dalam hal bertahan.”

Sebagai bek, biasanya digambarkan sebagai pemain yang mengandalkan kekuatan fisik dan tidak segan menjatuhkan lawan, Alessandro Nesta membuktikan sebaliknya. Ia menjatuhkan lawan-lawannya dengan caranya sendiri yang elegan dan penuh teknik.

Nesta memulai kariernya di dua klub besar Italia: Lazio dan AC Milan. Sejak usia muda, Nesta telah mencoba berbagai posisi, dari gelandang hingga penyerang. Dia mahir membawa bola dan memiliki kecepatan yang cukup baik. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa posisi terbaiknya adalah sebagai bek tengah.

Nesta kecil memulai karier bersama Lazio. Berbeda dengan Francesco Totti yang sejak kecil sudah diinginkan AS Roma, Nesta juga sempat diminati klub tersebut. Namun, ayahnya yang merupakan pendukung garis keras Lazio, selalu menentang hal itu. Debut Nesta bersama Lazio terjadi di bawah asuhan Dino Zoff pada tahun 1994. Namun, butuh waktu satu setengah musim baginya untuk benar-benar menunjukkan kelasnya. Ia kemudian berkembang di bawah asuhan Zdeněk Zeman, yang menanamkan pemahaman taktis yang sangat cocok bagi Nesta.

“Saya tidak ingin melupakan siapa saja yang telah berjasa mengembangkan kemampuan saya. Zeman memainkan peran fundamental dalam pembentukan karier saya. Dia selalu percaya pada kemampuan saya. Dia seorang jenius yang sering disalahpahami oleh sebagian orang,” ungkap Nesta suatu kali.

Pada tahun 1997, saat usianya baru 21 tahun, di bawah manajemen Sven-Göran Eriksson, kemampuan Nesta semakin terasa. Ia diberi ban kapten dan memimpin timnya meraih kemenangan di Coppa Italia 1998, saat Lazio mengalahkan AC Milan di final, dan Nesta mencetak gol kemenangan bagi Lazio.

Dengan semua prestasi dan gaya bermainnya yang luar biasa, Alessandro Nesta telah meninggalkan jejak yang indah dalam sejarah seni bertahan sepak bola.

Alessandro Nesta, yang dikenal sebagai salah satu bek terbaik Italia, memiliki karier gemilang baik di Lazio maupun AC Milan. Dikenal dengan kekuatan fisik dan kecerdasan dalam bertahan, Nesta menjadi impian para pelatih karena kemampuannya memberikan rasa aman bagi penjaga gawang. Sandro, sapaan akrab Nesta, juga menjadi bagian penting dari tim Italia yang memenangkan Kejuaraan Eropa U-21 pada tahun 1996. Ia mencatat debut seniornya untuk Italia dalam kualifikasi Piala Dunia melawan Moldova pada Oktober 1996.

Pada Piala Dunia 1998, Nesta bermain di seluruh pertandingan grup untuk Italia, tetapi cedera memaksanya absen di sisa turnamen. Cedera kembali menghantui Nesta pada Piala Dunia 2002, membuatnya melewatkan sebagian besar musim berikutnya. Meski demikian, Nesta hampir saja memimpin Lazio meraih Scudetto kedua mereka, meski kalah hanya selisih satu poin dari AC Milan.

Namun, musim tersebut tidak sepenuhnya tanpa trofi untuk Lazio. Nesta berhasil membawa klub tersebut memenangkan Piala Winners UEFA dengan mengalahkan Mallorca, serta meraih Piala Super UEFA dengan mengalahkan Manchester United 1-0 pada musim 1999-2000.

Pada tahun 2000, Lazio mengukir sejarah dengan meraih gelar Serie A, berkat kontribusi Nesta dan bintang-bintang lainnya seperti Pavel Nedved, Juan Sebastian Veron, Diego Simeone, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic, dan Marcelo Salas. Namun, kebersamaan Nesta dengan Lazio harus berakhir ketika klub mengalami krisis keuangan. Presiden klub saat itu, Sergio Cragnotti, terpaksa menjual para pemain bintang, termasuk Nesta, untuk menyelamatkan kondisi keuangan klub.

Nesta, yang saat itu menjabat sebagai kapten dan anggota dewan direksi Lazio, sangat terpukul oleh situasi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ia awalnya tidak ingin meninggalkan Lazio dan bahkan menolak tawaran dari Real Madrid dua tahun sebelumnya. Namun, situasi finansial yang buruk membuatnya harus bergabung dengan AC Milan pada 31 Agustus 2002 dengan nilai transfer mencapai 30 juta euro.

Bergabung dengan AC Milan terbukti menjadi keputusan yang tepat. Bersama Rossoneri, Nesta menjadi bagian dari lini pertahanan yang tangguh bersama pemain-pemain legendaris seperti Paolo Maldini, Cafu, Alessandro Costacurta, dan Jaap Stam. Pada musim pertamanya bersama Milan, Nesta langsung memenangkan Liga Champions setelah mengalahkan Juventus dalam adu penalti di final. Ia juga membantu Milan meraih Coppa Italia setelah mengalahkan Roma di final.

Kesuksesan Nesta di Milan berlanjut dengan berbagai penghargaan, termasuk dinobatkan sebagai Bek Terbaik Serie A dan masuk dalam Tim Terbaik UEFA pada tahun 2002. Meskipun beberapa penggemar Lazio menganggapnya sebagai “pengkhianat,” tidak dapat disangkal bahwa keputusan untuk menjual Nesta membantu menyelamatkan kondisi keuangan Lazio dan mengukuhkan statusnya sebagai salah satu bek terbaik yang pernah dimiliki sepak bola Italia dan dunia.

Karier Alessandro Nesta terus menunjukkan kesuksesan pada musim 2003-2004 saat dirinya bersama AC Milan memenangkan Piala Super Eropa dengan mengalahkan Porto. Sang bek andal ini juga berhasil merebut scudetto keduanya, di mana Milan mencetak rekor poin di Liga Italia. Nesta pun terpilih menjadi bagian dari tim terbaik UEFA untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

Musim 2004-2005 dimulai dengan cara yang serupa, saat Milan memenangkan Piala Super Italia dengan mengalahkan mantan tim Nesta, Lazio. Untuk pertama kalinya dalam kariernya, Nesta juga terpilih ke dalam FIFA FIFPro World XI.

Namun, tahun 2006 bukanlah tahun yang istimewa bagi Milan karena klub terlibat dalam skandal pengaturan pertandingan Calciopoli dan gagal meraih trofi di musim 2005-2006. Nesta juga harus menelan pil pahit saat Milan kalah dramatis meskipun unggul 3-0 di babak pertama pada final Liga Champions melawan Liverpool. Meskipun demikian, tahun tersebut tetap menjadi tahun yang istimewa baginya bersama Tim Nasional Italia yang memenangkan Piala Dunia 2006. Sayangnya, Nesta mengalami cedera di pertandingan terakhir fase grup dan harus absen hingga akhir turnamen.

Pada musim 2006-2007, Milan berhasil memenangkan Liga Champions, dan dengan demikian membalaskan dendam mereka terhadap Liverpool. Musim 2008-2009 dilewati Nesta dengan fokus pada pemulihan cedera, sehingga ia nyaris absen sepanjang musim tersebut. Namun, ia berhasil comeback di pertandingan terakhir melawan Fiorentina, meskipun hanya sebagai pemain pengganti.

Meski ada spekulasi mengenai pensiunnya pada musim 2010-2011, Nesta membuktikan bahwa dirinya masih bisa tampil luar biasa. Salah satu momen paling berkesan adalah saat ia menghadapi Lionel Messi dalam pertandingan melawan Barcelona di Camp Nou. Meskipun Barcelona menang, Nesta yang sudah berusia 35 tahun saat itu berhasil berkali-kali menggagalkan aksi Messi, membuat sang bintang Argentina frustasi.

Cedera memang mulai membatasi permainannya, tetapi kemampuan naluriah dan pemahaman taktiknya membuat Nesta tetap tampil seperti anggur berkualitas yang menua dengan indah. Musim 2010-2011 ditutup dengan meraih Scudetto ke-18 bagi Milan, trofi pertama setelah tujuh musim puasa gelar, yang juga menjadi trofi terakhir Nesta bersama Milan.

Pada tahun 2012, Nesta memutuskan untuk meninggalkan Milan setelah 10 tahun kebersamaan. Ia ingin mencari tantangan baru di tempat lain. “Sudah 10 tahun yang indah bersama Milan. Saya pergi karena level di Serie A, Liga Champions, dan Coppa Italia terlalu tinggi untuk saya sekarang,” ujarnya pada konferensi pers perpisahannya.

Nesta kemudian pindah ke Montreal Impact di MLS dan merasakan sepak bola di luar Serie A untuk pertama kalinya. Ia membantu tim tersebut mencapai babak play-off MLS untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Setelah dua musim bersama Montreal, Nesta mengumumkan pengunduran dirinya pada tahun 2013.

Namun, sebelum benar-benar pensiun, Nesta sempat bergabung dengan Chennaiyin FC, klub yang diasuh oleh mantan rekannya di Timnas Italia, Marco Materazzi. Akhirnya, pada tahun 2014, ia pensiun secara resmi dari dunia sepak bola.

Selama 22 tahun kariernya, Nesta tampil dalam 724 pertandingan di semua kompetisi, memenangkan hampir semua trofi bergengsi, mulai dari level junior, klub, Eropa, hingga timnas. Ia mengoleksi total 18 trofi dan 14 penghargaan individu utama. Alessandro Nesta dikenal sebagai bek yang berbakat dan berkelas, seorang legenda terakhir yang dianggap sebagai bek tengah sempurna.

Nesta hampir tidak memiliki kelemahan dalam permainannya. Ia fantastis dalam hal posisi dan taktik, serta memiliki kemampuan membaca permainan yang memungkinkannya untuk mengantisipasi dan menutup ruang dalam situasi satu lawan satu. Kemampuan bertahannya memungkinkan dia terus bermain di level tertinggi secara konsisten, bahkan ketika ia mulai kehilangan kecepatan dan stamina di akhir kariernya.

Setelah pensiun sebagai pemain, pada September 2015, Nesta memulai karier barunya sebagai pelatih di Miami FC, Florida. Ia mengungkapkan bahwa saat menandatangani kontrak kepelatihan di Amerika Serikat, tujuan utamanya adalah untuk belajar lebih banyak tentang sepak bola di negara tersebut. “Sepak bola berkembang sangat cepat di sini, tetapi para pemain harus memulainya lebih dini. Sudah terlambat jika mereka baru mulai saat usia 13 atau 14 tahun; mereka harus mulai lebih awal dan membangun teknik mereka,” ungkapnya.

Di Miami FC, Nesta dan rekan legendarisnya, Paolo Maldini, menyuntikkan banyak budaya Italia ke dalam klub. Nesta mengakui bahwa ia terinspirasi oleh Zdeněk Zeman, seorang pelatih yang dikenal revolusioner dan sangat taktikal. Meskipun begitu, ia menyadari bahwa kecemerlangannya sebagai pemain tidak serta-merta membuatnya menjadi pelatih hebat. “Ketika Anda berganti pekerjaan seperti yang saya lakukan sekarang, Anda harus melupakan masa lalu. Jika terus membandingkan apa yang Anda lakukan di masa lalu dengan apa yang Anda lakukan sekarang, itu akan membuat masalah bagi diri Anda sendiri,” kata Nesta.

Pada Mei 2018, Nesta kembali ke Italia untuk melatih Perugia, lalu berlanjut ke Frosinone. Setelah hampir dua musim memimpin tim Serie B tersebut, ia dipecat pada Maret 2021. Saat tidak memiliki pekerjaan, Nesta sempat mengatakan, “Tanpa kompetisi, saya tidak hidup; otak saya mati,” yang menunjukkan betapa sepak bola adalah hidupnya.

Karier Alessandro Nesta, baik sebagai pemain maupun pelatih, selalu menarik perhatian. Kita nantikan kabar selanjutnya dari salah satu pemain yang layak dijuluki “The Perfect Defender.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *